Joki Esra Tesa Tamunu Mundur Mendadak, Joshua Rori Ambil Alih: Pertaruhan 40 Menit yang Tak Terlupakan!

SARGA.CO—Di balik hiruk-pikuk lintasan pacuan, ada momen sunyi yang memuat lebih banyak ketegangan daripada suara sorakan penonton. Salah satunya terjadi di kelas A Sprint, saat kuda andalan bernama Dominator yang dilatih Pelatih Ardhi Punta Wijaya bersiap memasuki gate. Namun, joki utamanya, Esra Tesa Tamunu, justru memutuskan mundur.

Segalanya berubah. Fisiknya melemah. Ia kembali ke pos, mengakui bahwa tubuhnya tak sanggup untuk bertarung hari itu.

Ardhi, sang pelatih, seketika terdiam. Strategi yang telah disusun harus berubah dalam sekejap. Dominator dh. King Talago milik Ciello Stable bukan kuda sembarangan—ia pernah juara PON, dikenal eksplosif dan penuh tenaga.

Butuh joki yang tak hanya kuat, tapi juga peka terhadap karakter kuda. Dalam hitungan menit, Ardhi harus membuat keputusan yang tak hanya menyelamatkan pertandingan, tetapi juga menjaga reputasi stable. 

Tim SARGA.CO akhirnya berhasil melakukan wawancara langsung dengan tiga tokoh kunci dalam kejadian ini: Joki pengganti Esra Tesa Tamunu, yaitu Joshua Rori, pelatih Ardhi Punta Wijaya, dan Ketua Steward H. Katompo.

Dari ketiganya, terkuak dinamika intens di balik keputusan yang diambil dalam waktu kurang dari 40 menit.

Nama Joshua Rori muncul. Seorang joki freelance. Reputasinya solid, punya pengalaman, dan yang lebih penting: Masih punya satu slot tersisa dari batas maksimal 6 race dalam suatu kejuaraan pacuan kuda hari itu.

Batas angka race tersebut merupakan regulasi yang dibuat oleh para steward untuk menjaga joki agar tidak terlampau lelah dan meminimalisir terjadinya hal yang tidak diinginkan akibat kelelahan.

Ardhi Punta Wijaya, Pelatih

Sumber: SARGA.CO

Tanpa banyak formalitas, Ardhi menghampiri Joshua di ruang joki. “Jok, bisa tolong bawa Dominator?” katanya dengan suara setengah berharap, setengah cemas. Joshua menatapnya sebentar, lalu menjawab dengan singkat, “Saya siap pelatih.”

Di balik jawabannya yang tenang, batin Joshua bergejolak. Ia tahu ini bukan race biasa. Ini adalah kuda bagus dan kuat, yang dibina langsung oleh pelatih Ardhi.

Ia tidak kenal betul Dominator. Ia belum pernah menungganginya, namun waktu hanya tinggal beberapa puluh menit. Tapi rasa percaya yang diberikan membuat Joshua tak ingin mundur.

Ia mendekati Tesa. Tak ada ego di antara mereka. Joshua meminta arahan singkat tentang karakter kuda dan cara membawanya. Sisanya ia mendapat arahan dari pelatih Ardhi.

Semua dilakukan dengan cepat, “Saya harus tanya baik-baik. Ini bukan latihan, ini langsung race,” kenangnya, saat diwawancarai tim SARGA.CO. Namun sebelum bisa resmi naik, satu hal masih mengganjal: izin steward. 

Katompo, Ketua Steward, memeriksa catatan, berat badan joki Joshua harus sesuai untuk memenuhi persyaratan berat badan joki yang berkisar antara 49 – 54 Kg, sesuai dengan peraturan yang tertera pada buku peraturan Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI) Bab VII Pasal 1 Nomor 5, bahwa saat joki ditimbang dan terdapat kekurangan berat, juru timbang yang akan memutuskan menambah berat timbangan atau tidak.

Begitu juga dijelaskan pada Bab 1 Nomor 12, bahwa standar beban joki adalah termasuk berat badan dan sudah mencakup berat pelana dan sadel. Standar beban ini ditentukan oleh otoritas pacuan kuda di setiap negara atau organisasi yang mengawasi kompetisi tersebut.  

Setelah semua terpenuhi, Katompo juga melihat bahwa Joshua masih memiliki 1 kuota race lagi, jumlah race yang diikuti Joshua hari itu masih lima. “Boleh naik,”  tegas Katompo. 

Di tengah kekacauan, steward menjadi jangkar yang memastikan jalannya lomba tetap sesuai aturan. “Kami tak pernah mempersulit. Selama sesuai regulasi dan menjaga fairness, kami izinkan,” tegas Katompo kemudian. 

Joki Joshua Rori menunggangi kuda Dominator di kelas A Sprint

Sumber: SARGA.CO

Joshua bersiap. Ia naik ke pelana Dominator, berusaha sebaik mungkin dan memikirkan ada tanggung jawab besar yang ia pegang. Lalu pintu start terbuka.

Beberapa detik pertama menjadi momen yang akan terus diingat Joshua. Ia merasa ada yang tidak sinkron sejak di dalam gate. Dan benar saja—sesaat setelah start, terjadi benturan, Dominator tersentak, dan Joshua terjatuh keras ke tanah. Bahu dan kakinya terinjak.

Ia langsung dievakuasi ke pos medis. Namun bukan rasa sakit yang pertama kali muncul di pikirannya, melainkan rasa tanggung jawab. “Saya masih punya tiga kuda lain hari ini. Kalau bisa cukup disuntik pereda nyeri, saya lanjut,” katanya ke suster.

Tapi tubuh tak bisa dibohongi. Race berikutnya ia harus relakan digantikan joki lain. Joshua masih terpukul, bukan karena kalah, tapi karena gagal menjalankan kepercayaan yang diberikan padanya.

Bagi Ardhi, insiden itu adalah hantaman lain. Setelah mengatur strategi untuk empat kuda: Megantara, Stefani, Arbok, dan Dominator—semuanya harus ia ubah dalam waktu singkat. Ia mengakui sempat goyah, bahkan kehilangan fokus untuk race berikutnya. “Saya sudah siapkan semuanya, tapi buyar dalam hitungan menit,” katanya.

Sebagai pelatih, tekanan datang dari semua arah. Owner menuntut hasil. Waktu terus berjalan. Joki pengganti harus dipilih dengan cepat, brief  kilat, lalu diharapkan bisa menyatu dengan kuda seolah mereka sudah lama bekerja sama.

Ardhi tetap mencoba, ia memilih Joshua karena percaya pada kemampuannya. Tapi ia tahu, ini bukan tentang salah atau benar. Ini tentang risiko.

“Saya tahu joki bukan milik saya, saya hanya pinjam. Jadi saya tidak bisa terlalu keras kalau ada kesalahan,” ucapnya jujur.

Setelah kejadian itu, steward memanggil dan memverifikasi ulang posisi sadel, buka-gate, dan kondisi kuda. Tidak ditemukan pelanggaran. Tapi bagi Ardhi, ada sesuatu yang mengganjal. Ia merasa ada human error di dalam gate.

Karena di dunia pacuan kuda, bukan hanya kuda yang harus siap berlari. Pelatih, joki, dan seluruh sistem di belakangnya harus siap menghadapi keputusan tercepat—dengan risiko terbesar.


error: Content is protected !!